Metode mengajar merupakan  suatu cara penyampaian materi ajar yang dila�ku�kan oleh guru terhadap  siswanya di dalam kelas, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk  mencapai suatu tujuan. Hudoyo (1979: 126) menyatakan bahwa metode  mengajar adalah suatu cara atau teknik mengajar topik-topik tertentu  yang disusun secara teratur dan logis. Hal ini berlaku baik bagi guru  (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode  yang dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan (Winamo Surakhmad).  Kadang-kadang metode juga dibedakan dengan teknik. Metode bersifat  prosedural, sedangkan teknik lebih bersifat implementatif. Maksudnya  merupakan pelaksanaan apa yang sesungguhnya terjadi (dilakukan guru)  untuk mencapai tujuan. Contoh: Guru A dengan guru B sama-sama  menggunakan metode ceramah. Keduanya telah mengetahui bagaimana prosedur  pelaksanaan metode ceramah yang efektif, tetapi hasilnya guru A berbeda  dengan guru B karena teknik pelaksanaannya yang berbeda. Jadi tiap guru  mungakui mempunyai teknik yang berbeda dalam melaksanakan metode yang  sama.
KLASIFIKASI STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR Klasifikasi strategi belajar-mengajar, berdasarkan bentuk dan pendekatan:
1. Expository dan Discovery/Inquiry : �Exposition� (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan  informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta  bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang  diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap  disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi  yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur  discovery (penemuan). Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru  menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua  macam, bahkan menggunakan metode campuran.
Suatu saat guru dapat  menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik juga.  Begitu pula dengan discovery/inquiry. Sehingga suatu ketika ekspositorik  - discovery/inquiry dapat berfungsi sebagai strategi belajar-mengajar,  tetapi suatu ketika juga berfungsi sebagai metode belajar-mengajar.
Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan  berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin  banyak melibatkan siswa secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan  digunakan oleh guru tampak pada contoh berikut:
Pada Taman  kanak-kanak, guru menjelaskan kepada anak-anak, aturan untuk menyeberang  jalan dengan menggunakan gambar untuk menunjukkan aturan : Berdiri pada  jalur penyeberangan, menanti lampu lintas sesuai dengan urutan wama,  dan sebagainya.
Dalam contoh tersebut, guru menggunakan strategi  ekspositorik. Ia merigemukakan aturan umum dan mengharap anak-anak akan  mengikuti/mentaati aturan tersebut.
Dengan menunjukkan sebuah  media film yang berjudul �Pengamanan jalan menuju sekolah guru ingin  membantu siswa untuk merencanakan jalan yang terbaik dan sekolah ke  rumah masing-masing dan menetapkan peraturan untuk perjalanan yang aman  dari dan ke sekolah.
Dengan film sebagai media tersebut, akan  merupakan strategi ekspositori bila direncanakan untuk menjelaskan  kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat, mereka diharapkan  menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Akan tetapi  strategi itu dapat menjadi discovery atau inquiry bila guru menyuruh  anak-anak kecil itu merencanakan sendiri jalan dari rumah masing masing.  Strategi ini akan menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan  yang dianggap terbaik bagi dirinya masing-masing. Tugas tersebut  memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan pertanyaan sebelum mereka  sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya terbaik. Mungkin mereka  perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari jalan lain kalau  dianggap kurang baik.
Dan contoh sederhana tersebut dapat kita  lihat bahwa suatu strategi yang diterapkan guru, tidak selalu mutlak  ekspositorik atau discovery. Guru dapat mengkombinasikan berbagai metode  yang dianggapnya paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Strategi  pembelajaran ekspositori dalam penelitian ini menunjuk pada strategi  yang dalam jenjang kontinum Romiszowski disebut "ekspositori deduktif"  yaitu strategi pembelajaran yang didasarkan pada proses "meaningful  reception learning" sebagaimana yang diteorikan Ausubel. Stategi ini  cenderung menekankan penyampaian informasi yang bersumber dari buku  teks, referensi atau pengalaman pribadi dengan menggunakan teknik  ceramah, demonstrasi, diskusi dan laporan studi.
Dalam  pembelajaran dengan strategi ekspositori guru cenderung menggunakan  kontrol proses pembelajaran dengan aktif, sementara siswa relatif pasif  menerima dan mengikuti apa yang disajikan oleh guru. Strategi  pembelajaran ekspositori ini merupakan proses pembelajaran yang lebih  berpusat pada guru ("teacher centered"), guru menjadi sumber dan pemberi  informasi utama. Meskipun dalam strategi ekspositori digunakan metode  selain ceramah dan dilengkapi atau didukung dengan penggunaan media,  penekanannya tetap pada proses penerimaan pengetahuan (materi pelajaran)  bukan pada proses pencarian dan konstruksi pengetahuan.
Jadi  strategi pembelajaran ekspositori dalam kajian ini adalah strategi  pembelajaran yang menekankan pada proses deduksi, menunjuk pada  pendekatan yang biasa digunakan guru dalam praktek pembelajaran secara  aktual dilapangan. Dalam penelitian ini strategi pembelajaran  ekspositori merupakan variabel kontrol atas variabel eksperimen yaitu  strategi pembelajaran koperatif. Tahapan pembelajaran dalam strategi  pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut: (1) pada tahap  pendahuluan guru menyampaikan pokok-pokok materi yang akan dibahas dan  tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, siswa mengikuti dengan mencatat  bila perlu, (2) pada tahap penyajian atas materi guru menyampaikan  materi pembelajaran dengan ceramah dan tanya jawab, kemudian dilanjutkan  dengan demostrasi untuk memperjelas materi yang disajikan dan diakhiri  dengan penyampaian ringkasan atau latihan, (3) pada tahap penutup guru  melaksanakan evaluasi berupa tes dan kegiatan tindak lanjut seperti  penugasan dalam rangka perbaikan dan pengayaan atau pendalaman materi.
2. Strategi Pembelajaran EkspositoriStrategi pembelajaran ekspositori dalam penelitian ini menunjuk pada  strategi yang dalam jenjang kontinum Romiszowski disebut "ekspositori  deduktif" yaitu strategi pembelajaran yang didasarkan pada proses  "meaningful reception learning" sebagaimana yang diteorikan Ausubel.  Stategi ini cenderung menekankan penyampaian informasi yang bersumber  dari buku teks, referensi atau pengalaman pribadi dengan menggunakan  teknik ceramah, demonstrasi, diskusi dan laporan studi.
Dalam  pembelajaran dengan strategi ekspositori guru cenderung menggunakan  kontrol proses pembelajaran dengan aktif, sementara siswa relatif pasif  menerima dan mengikuti apa yang disajikan oleh guru. Strategi  pembelajaran ekspositori ini merupakan proses pembelajaran yang lebih  berpusat pada guru ("teacher centered"), guru menjadi sumber dan pemberi  informasi utama. Meskipun dalam strategi ekspositori digunakan metode  selain ceramah dan dilengkapi atau didukung dengan penggunaan media,  penekanannya tetap pada proses penerimaan pengetahuan (materi pelajaran)  bukan pada proses pencarian dan konstruksi pengetahuan.
Jadi  strategi pembelajaran ekspositori dalam kajian ini adalah strategi  pembelajaran yang menekankan pada proses deduksi, menunjuk pada  pendekatan yang biasa digunakan guru dalam praktek pembelajaran secara  aktual dilapangan. Dalam penelitian ini strategi pembelajaran  ekspositori merupakan variabel kontrol atas variabel eksperimen yaitu  strategi pembelajaran koperatif. Tahapan pembelajaran dalam strategi  pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut: (1) pada tahap  pendahuluan guru menyampaikan pokok-pokok materi yang akan dibahas dan  tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, siswa mengikuti dengan mencatat  bila perlu, (2) pada tahap penyajian atas materi guru menyampaikan  materi pembelajaran dengan ceramah dan tanya jawab, kemudian dilanjutkan  dengan demostrasi untuk memperjelas materi yang disajikan dan diakhiri  dengan penyampaian ringkasan atau latihan, (3) pada tahap penutup guru  melaksanakan evaluasi berupa tes dan kegiatan tindak lanjut seperti  penugasan dalam rangka perbaikan dan pengayaan atau pendalaman materi.
Hasil belajar dipandang sebagai salah  satu  indikator pendidikan  bagi mutu pendidikan dan perlu disadari bahwa hasil belajar adalah  bagian dari hasil pendidikan (Soedjadi, 1991: 10).
Hasil adalah  suatu istilah yang digunakan untuk  menunjuk  sesuatu  yang dicapai  seseorang setelah melakukan suatu usaha.  Bila dikaitkan dengan belajar  berarti  hasil menunjuk  sesuatu yang dicapai oleh seseorang yang  belajar dalam selang waktu tertentu. Hasil belajar termasuk dalam  kelompok atribut kognitif yang �respons� hasil pengukurannya tergolong  pendapat (judgment), yaitu respon yang dapat dinyatakan benar atau salah  (Suryabrata, 2000: 19).
Soedijarto (1993: 49) menyatakan bahwa  hasil belajar adalah tingkat pengua�saan yang dicapai oleh pelajar dalam  mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang  ditetapkan.
Briggs (1979: 149) menyatakan bahwa, hasil belajar  adalah seluruh kecakap�an dan segala hal yang diperoleh melalui proses  belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan dengan angka dan diukur  dengan menggunakan tes hasil belajar. Sedang menurut Sudjana (2004: 22)  hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia  menerima pengalaman belajar.
Sudjana (1991 : 22) mengemukakan  bahwa, dalam sistem pendidikan nasio�nal rumusan tujuan pendidikan, baik  tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi  hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya  menjadi tiga ranah, yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah  psiko�mo�toris.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar  intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau  ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sinte�sis dan evaluasi. Kedua  aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek  berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif  berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,  jawaban atau reaksi, penilaian,  organisasi, dan internali�sasi.
Ranah  psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemam�puan  bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan refleks,  keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan dan  ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan  interpretatif.
Matematika sebagai bahan pelajaran yang obyeknya  berupa fakta, konsep, operasi, dan prinsip yang kesemuanya  adalah abstrak.
Hasil  belajar matematika siswa sebagian besar dinilai oleh guru pada ranah  kognitifnya. Penilaiannya dilakukan dengan tes hasil belajar  matema�tika.
3. Pendekatan konsep :Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah �concept� (konsep)  mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada  pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat  seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan  membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah  memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan  beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok  tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal  suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu,  akibat dan suatu hasil belajar yang dinamakan �konsep�.
Kita harus  memperhatikan pengertian yang paling mendasar dari istilah �konsep�,  yang ditunjukkan melalui tingkah laku individu dalam mengemukakan  sifat-sifat suatu obyek seperti : bundar, merah, halus, rangkap, atau  obyek-obyek yang kita kenal seperti rambut, kucing, pohon dan rumah.  Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang nyata (concrete  concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa kita  pelajari melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui  definisi/batasan, karena merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya iklim,  massa, bahasa atau konsep matematis. Bila seseorang telah mengenal  suatu konsep, maka konsep yang telah diperoleh tersebut dapat digunakan  untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan.  Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang satu  dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif  
4. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam  kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa  (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan  siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan  fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini  dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa.  Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student  centered).
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan  yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk  merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun  sederhananya. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada  iswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh  konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses  perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendin fakta dan  kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses  belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar  aktif.
Hakekat dad CBSA adalah proses keterlibatan  intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang  memungkinkan terjadinya:
- Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
   - Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: memungkinkan terbentuknya keterampilan
- Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat  keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada  diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan  yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru  diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat  menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem  pengajaran yang efektif dan efisien.
Dalam menerapkan konsep CBSA,  hakekat CBSA perlu dijabarkani menjadi bagian-bagian kecil yang dapat  kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku  konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah  laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar karena  memang sengaja dirancang untuk itu.
   Prinsip-prinsip CBSA:Dan uraian di atas kita ketahui bahwa prinsip CBSA adalah tingkah  laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang  menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar  baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang  nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
-        Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta  dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar.  Keberanian tersebut terwujud karena memang direnca nakan oleh guru,  misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa  tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat. 
 
-        Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan  maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak  lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru  bersikap demokratis. 
 
-       Kreatifitas siswa dalam  menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu  keberhasilan tertentu yang memang dirancang olch guru. 
 
-        Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga  dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh  guru. 
 
-       Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru. 
 
b. Dimensi Guru
-        Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka  kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses  belajar-mengajar. 
 
-       Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator. 
 
-       Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar. 
 
-       Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara, mama serta tingkat kemampuan masing-masing. 
 
-        Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi  belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan  menimbulkan lingku�gan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai  tujuan. 
 
c. Dimensi Program
-       Tujuan  instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan,  minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting  diperhatikan guru. 
 
-       Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep mau pun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar. 
 
-       Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 
 
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
-        Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat,  bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses  belajar-mengajar. 
 
-       Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar. 
 
   Rambu-rambu CBSA :Yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan  prinsip-prinsip CBSA yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah  sampai pada rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk menentukan  tingkat CBSA dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut  dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat  digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses  belajar-mengajar memiliki kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan  menentukan ada atau tidak adanya kadar CBSA dalam proses  belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya seorang guru, namun kadar CBSA  itu pasti ada, walaupun rendah.
a. Berdasarkan pengelompokan siswa :
Strategi belajar-mengajar yang dipilih oleh guru hams disesuaikan  dengan tujuan pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai  untuk proses belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih  tepat untuk proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu,  keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang  berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.
b. Berdasarkan kecepatan nzasing-rnasing siswa :
Pada saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih  materi pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan  mereka masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar  lebih cepat bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang,  akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi  belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.
c. Pengelompokan berdasarkan kemampuan :
Pengelompokan yang homogin han didasarkan pada kemampuan siswa. Bila  pada pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa  harus dijadikan satukelompok maka hal mi mudah dilaksanakan. Siswa akan  mengembangkan potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman  yang hampir sama tingkat perkembangan intelektualnya.
d. Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat :
Pada suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk  berkelompok berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya  terbentuk atas kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau  permasalahan yang akan dikerjakan.
e. Berdasarkan domein-domein tujuan :
Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah: 1) Domein  kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta. 2) Domein afektif, aspek  sikap. 3) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
Gagne  mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah: 1) Keterampilan intelektual.  2) Strategi kognitif. 3) Informasi verbal. 4) Keterampilan motorik. 5)  Sikap dan nilai.
Di samping pengelompokan (klasifikasi) tersebut  di atas, masih ada pengelompokkan yang lebih komprehensif dalam arti  meninjau beberapa faktor sekaligus seperti, wawasan tentang manusia dan  dunianya, tujuan serta lingkungan belajar. Pendapat ini dikemukakan oleh  Bruce Joyce dan Marsha Well dengan mengemukakan rumpun model-model  mengajar sebagai berikut:
a. Rumpun model interaksi sosial
b. Rumpun model pengelola informasi Rumpun model personal-humanistik
c. Rumpun model modifikasi tingkah laku.
T. Raka Joni mengemukakan suatu kerangka acuan yang dapat digunakan  untuk memahami strategi belajar-mengajar, sebagai berikut:
1. Pengaturan guru-siswa :
- Dari segi pengaturan guru dapat dibedakan antara : Pengajaran yang diberikan oleh seorang guru atau oleh tim 
 
-        Hubungan guru-siswa, dapat dibedakan : Hubungan guru-siswa melalui  tatap muka secara langsung ataukah melalui media cetak maupun media  audio visual. 
 
-       Dari segi siswa, dibedakan antara :  Pengajaran klasikal (kelompok besar) dan kelompok kecil(antara 5 - 7  orang) atau pengajaran Individual (perorangan).
 
2. Struktur peristiwa belajar-mengajar :
Struktur peristiwa belajar, dapat bersifat tertutup dalam arti segala  sesuatunya telah ditentukan secara ketat, misalnya guru tidak boleh  menyimpang dari persiapan mengajar yang telah direncanakan. Akan tetapi  dapat terjadi sebaliknya, bahwa tujuan khusus pengajaran, materi serta  prosedur yang ditempuh ditentukan selama pelajaran berlangsung. Struktur  yang disebut terakhir ini memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut  berperan dalam menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah  langkah yang akan ditempuh.
3. Peranan guru-siswa dalam mengolah pesan :
Tiap peristiwa belajar-mengajar bertujuan untuk mencapai suatu tujuan  tertentu, ingin menyampaikan pesan, informasi, pengetahuan dan  keterampilan tertentu kepada siswa. Pesan tersebut dapat diolah sendiri  secara tuntas oleh guru sebelum disampaikan kepada siswa, namun dapat  juga siswa sendid yang diharapkan kepada siswa, namun dapat juga siswa  sendid yang diharapkan mengolah dengan bantuan sedikit atau banyak dan  guru. Pengajaran yang disampaikan dalam keadaan siap untuk ditedma  siswa, disebut strategi ekspositorik, sedangkan yang masih harus diolah  oleh siswa dinamakan heudstik atau hipotetik. Dan strategi heuristik  dapat dibedakan menjadi dua jenis ialah penemuan (discovery) dan  penyelidikan (inquiry), yang keduanya telah diterangkan pada awal bab  ini.
4. Proses pengolahan pesan :
Dalam peristiwa  belajar-mengajar, dapat terjadi bahwa proses pengolahan pesan bertolak  dari contoh-contoh konkret atau peristiwa-peristiwa khusus kemudian  diambil suatu kesimpulan (generalisasi atau pnnsip-pnnsip yang bersifat  umum). Strategi belajar-mengajar yang dimulai dari hal-hal yang khusus  menuju ke umum tersebut, dinamakan strategi yang bersifat induktif.
 Pemilihan strategi belajar-mengajar :Titik tolak untuk penentuan strategi belajar-mengajar tersebut adalah  perumusan tujuan pengajaran secara jelas. Agar siswa dapat melaksanakan  kegiatan belajar-mengajar secara optimal, selanjutnya guru harus  memikirkan pertanyaan berikut : �Strategi manakah yang paling efektif  dan efisien untuk membantu tiap siswa dalam pencapaian tujuan yang telah  dirumuskan?� Pertanyaan ini sangat sederhana namun sukar untuk dijawab,  karena tiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi  memang harus dipilih untuk membantu siswa mencapai tujuan secara efektif  dan produktif.
Langkah yang harus ditempuh adalah sebagai  berikut; Pertama menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan dengan  jelas sehingga dapat diketahui apa yang diharapkan dapat dilakukan  siswa, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat keberhasilan  yang diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab, sebab selain  setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun mempunyai kemampuan dan  kwalifikasi yang berbeda pula. Disamping itu tujuan yang bersifat  afektif seperti sikap dan perasaan, lebih sukar untuk diuraikan  (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif biasanya lebih  mudah. Strategi yang dipilih guru untuk aspek ini didasarkan pada  perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaimana  besar siswa untuk mencapai hasil yang optimal.
Namun guru tidak  boleh berhenti sampai disitu, dengan kemajuan teknologi, guru dapat  mengatasi perbedaan kemampuan siswa melalui berbagai jenis media  instruksional. Misalnya, sekelompok siswa belajar melalui modul atau  kaset audio, sementara guru membimbing kelompok lain yang dianggap masih  lemah